Grand Strategi Prov. Jawa Timur 2025 Sebagai: "Pusat Agribisnis Terkemuka, Berdaya Saing Global
Kenaikan harga beberapa komoditas pertanian di pasar global begitu mengguncangkan akhir-akhir ini, gejala awalnya telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Sumber permasalahan dari semua ini tidak lepas dari shock eksternal yang dimulai dari kenaikan harga minyak mentah dunia akibat adanya konflik di Timur Tengah serta gangguan produksi di beberapa Negara yang mengganggu pasokan minyak dunia.
Kenaikan harga di pasar internasional yang cenderung tidak terkontrol, memacu Negara-negara bukan penghasil minyak dan pengkonsumsi minyak terbesar di Eropa, Asia dan Amerika untuk mencari subtitusi energi pengganti. Salah satu alternative yang kemudian ditempuh adalah melalui pengembangan bio-energi yang juga dianggap cukup ramah lingkungan dibanding energi fosil yang menjadikan iklim bumi kian memanas (global warming).
Pengembangan bio-energi ini menjadikan komoditas-komoditas pangan seperti jagung, tebu, bunga matahari, jarak, CPO, dan lain-lain merupakan bahan baku bio-energi diproduksi secara besar-besaran. Konsekwensinya, terjadi konversi lahan pertanian di Negara-negara sentra produksi pangan dunia dari lahan yang digunakan untuk menghasilkan komoditas pangan ekspor menjadi bahan baku bio-energi. Selanjutnya, pasokan pangan kebutuhan dunia pun melorot drastic dan harga-harga pangan di pasar internasional pun menjadi meningkat tajam. Fenomena mutakhir ini masih akan berlanjut di masa mendatang.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam laporan OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016, edisi Juli 2007, suplai dan stok komoditas pangan dan pertanian dunia diperkirakan mengalami penurunan. Penyebabnya, selain diakibatkan perubahan iklim global, penurunan stok dipicu oleh tingginya permintaan pasar terhadap sejumlah komoditas pertanian untuk bahan baku energi. Kemudian, pada Laporan Food Outlook edisi November 2007, FAO menegaskan bahwa kenaikan harga beras dunia sampai pada harga di atas US$ 330 per ton adalah rekor tertinggi dalam 20 tahun terakhir, dan bahkan pada 24 April 2008 lalu harga beras Thailand telah mencapai US$ 1000 per ton.
Secara rata-rata, kenaikan harga tahun 2007 adalah 16 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga beras pada tahun 2006. Kenaikan harga pangan pokok bangsa Asia ini lebih diperparah dengan kenaikan harga pangan lain seperti gandum, susu, daging dan lain-lain. Lebih merumitkan lagi, keterkaitan harga beras sangat terkait dengan laju inflasi dan elemen ekonomi makro yang sangat terkait dengan pola kebijakan ekonomi secara umum.
Laporan terbaru FAO itu juga menyinggung bahwa kenaikan harga pangan pokok dunia telah menyebabkan kenaikan 18 persen harga pangan di Cina, 13 persen di Indonesia dan Pakistan, 10 persen di Amerika Latin, Rusia, India dan lain-lain. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan bahwa kenaikan harga bahan makanan telah menyumbang sekitar 75 persen dari laju inflasi 1,10 persen pada Desember 2007. Tidak kurang dari pejabat lembaga dunia setingkat Direktur FAO Jacques Diouf bahkan juga memberikan peringatan bahwa "kombinasi dari kenaikan harga minyak mentah dan kenaikan harga pangan dapat menyebabkan krisis sosial yang sangat serius di masa mendatang" (The Guardian, 3 November 2007).
Produksi beras di tingkat dunia sebenarnya tidaklah terlalu buruk, walau memang sedang mengalami pelandaian (leveling-off) karena peningkatan produksi lebih banyak hanya mengandalkan pertambahan areal panen. Produksi beras global diperkirakan sekitar 643 juta ton pada tahun 2007 atau equivalent 429 juta ton beras. Angka tersebut juga sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan produksi beras 581 juta ton pada tahun 2006 atau dari perkiraan Food Outlook FAO sebelumya pada edisi Juni 2007. Kenaikan produksi di India, Myanmar dan Indonesia diperkirakan cukup signifikan untuk meningkatkan produksi beras dunia tahun 2007. Persoalan menjadi agak kompleks ketika produktivitas beras rata-rata dunia nyaris tidak bertambah pada beberapa tahun terakhir dan tercatat hanya 4,1 ton per hektar.
Ancaman krisis pangan di belahan bumi lain bahkan lebih menakutkan, terutama karena pertambahan penduduk, pemanasan global dan ketidakpastian iklim serta ancaman ekologis karena keterlambatan adaptasi dan mitigasi peruabahan iklim. Menurut laporan Program Pangan Dunia (WFP), sebanyak 57 negara (29 di Afrika, 19 di Asia dan 9 di Amerika Latin) juga terkena terpaan banjir dan bencana ekologis yang menakutkan. Di pihak lain, bencana kekeringan dan gelombang panas juga melanda beberapa tempat di Asia, Eropa, Cina, Mozambik dan Uruguay. Di Australia, yang menjadi salah satu produsen gandum dunia, bencana kekeringan tahun 2007 lalu telah menurunkan produksi gandum sekitar 40 persen (sekitar 4 juta ton). Tidak heran jika kondisi suplai gandum dunia agak terganggu dan melonjakkan harga gandum di pasar global.
Laporan WFP tersebut juga menyebutkan bahwa sekitar 854 juta jiwa di seluruh dunia terancam kelaparan. Kelompok rawan pangan ini bertambah sekitar 4 juta jiwa per tahun, sehingga kenaikan harga pangan dunia saat ini benar-benar di luar jangkauan mereka dari kelompok lapis paling bawah tersebut. Hal serupa juga tengah mengancam Indonesia.
Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, ancaman krisis pangan di Indonesia akan terjadi akibat ketimpangan jumlah penduduk dan ketersediaan lahan pangan yang makin tidak seimbang. Dengan laju pertumbuhan penduduk berkisar antara 1,3-1,5 persen sedangkan luas lahan pertanian tidak bertambah, Indonesia dikhawatirkan pada tahun 2017 nanti tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangannya.
Keterkaitan antara laju permintaan pangan dan pertumbuhan penduduk ini adalah tesis dasar teori pembangunan pertanian klasik. Hampir setengah abad lalu, Prof. Bruce Johnston dari Stanford University dan Prof. John Mellor (Cornell University) menyampaikan suatu persamaan sederhana bahwa laju permintaan pangan suatu negara ditentukan oleh laju permintaan penduduk, laju pertumbuhan ekonomi, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan tersebut.
Dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia 1,3 persen, pertumbuhan ekonomi 6,1 persen, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan sekitar 0,6, maka laju permintaan pangan Indonesia sekitar 4,96 persen per tahun. Karena itu, untuk menghindar dari krisis pangan yang berkepanjangan, pertumbuhan pasok pangan di Indonesia harus mencapai 5 persen atau lebih per tahun.
Adapun strategi yang baik tentu saja adalah dengan memprioritaskan pemenuhan pangan dari produksi dalam negeri, karena vulnerebilitas sosial-ekonomi-politik apabila mengandalkan pemenuhan pangan dari impor. Untuk pangan pokok, khususnya beras, peningkatan produksi domestik menjadi demikian mutlak, karena negara produsen beras besar -- seperti China, Vietnam, India, dan Pakistan -- semakin hati-hati dalam melempar produk mereka ke pasar internasional. Amerika Serikat pun bertindak serupa untuk komoditas gandum, jagung, dan kedelai, sehingga secara signifikan melonjakkan harga komoditas pangan tersebut di pasar global.
Dalam realitas aktual serupa itu, Provinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional tentu saja menjadi semakin strategis perannya pada masa-masa mendatang. Hanya saja, Jawa Timur -- seperti juga Indonesia pada umumnya -- masih harus tetap mewaspadai pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Namun demikian, persoalan baru tentang kompleksitas baru berkaitan dengan perubahan pola perdagangan komoditas pangan di tingkat global, juga harus dapat diantisipasi secara baik. Ini berarti Provinsi Jawa Timur -- termasuk juga Indonesia -- tidak boleh hanya berkutat dengan persoalan konversi lahan sawah, kelangkaan pupuk, ketersediaan air, buruknya jaringan irigasi, dan lain-lain, yang berarti tidak beranjak dari persoalan pada era 1980-an. Pembangunan subsektor pangan dan sektor pertanian ke depan wajib bervisi peningkatan produktivitas lahan dan produktivitas tenaga kerja.
Pencetakan sawah baru memang tetap penting, tetapi berbagai upaya yang mengarah kepada peningkatan produktivitas pangan per satuan luas lahan jauh lebih penting dan bermakna bagi kesejahteraan rakyat. Apabila laju peningkatan produktivitas ini lebih besar dari laju penurunan rasio lahan terhadap tenaga kerja-karena lahan nyaris tetap, sedangkan tenaga kerja terus bertambah-krisis pangan akan dapat dihindari.
Karena itu, perubahan tekonologi di bidang pangan dan pertanian menjadi sangat mutlak dan tidak dapat diabaikan dalam penyusunan strategi dan kebijakan ekonomi pangan ke depan. Sebab, krisis pangan sejatinya akan dapat dihindari apabila berbagai program peningkatan produksi pangan tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi target politik semata. Pemikiran ini menjadi landasan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang dalam jangka panjang (Jawa Timur, 2025) mengancangkan visi sebagai "Pusat Agribisnis Terkemuka, Berdayasaing Global, dan Berkelanjutan" melalui peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaku sentral dalam pembangunan pertanian.
Sumber :http://www.disperindag-jatimprov.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=6
0 komentar:
Posting Komentar