Strategi Bersaing antara Hero dan Giant


Ketika Hero Jadi "Kuda Troya"


Kamis, 12 Juni 2003
Oleh : Teguh S. Pambudi dan Herning Banirestu


Di tengah lanskap dunia ritel nasional yang berguncang, Hero terus ekspansif. Namun, betulkah ia hanya jadi "kuda tunggangan" Dairy Farm? Dan bisakah langkah-langkah ekspansif itu membuat Hero cemerlang?


Seminggu lalu, tepatnya 5 Juni 2003, selembar faks mendarat di meja redaksi SWA. Isinya, merekonfirmasi berita yang sudah beredar. Lewat RUPSLB, PT Hero Supermarket Tbk. akhirnya resmi mengakuisisi 22 gerai supermarket Tops di Indonesia. Mengucurkan Rp 111 miliar, 22 gerai Tops itu (secara bertahap akan berganti nama menjadi Hero Supermarket) membuat pasar swalayan Hero berkekuatan 111 buah di Indonesia.

111 dan 111. Suatu kebetulan? "Rencana ini sebenarnya sudah lama, tapi baru terlaksana setelah disetujui RUPSLB," ungkap Ipung Kurnia, Presiden Direktur Hero. Perkara angka yang sama, boleh jadi suatu kebetulan. Namun, bagi perusahaan yang berdiri sejak 1971 ini, Ipung menegaskan, langkah itu tak datang dari langit. Boleh dikata ini sebuah desain. "Akuisisi merupakan bagian dari strategi perseroan untuk berkembang di samping melalui pengembangan organik (menambah gerai)," katanya. Dan satu lagi yang patut dicatat. Dampak akuisisi sangat signifikan terhadap posisi Hero. Selain memperluas jaringan pemasaran, "Kami jadi perusahaan ritel paling lengkap formatnya di Indonesia," ujarnya bangga.

Ipung jelas boleh bangga. Anak perintis Hero, M. Saleh Kurnia, ini juga tak keliru. Format ritel Hero memang tergolong paling lengkap. Jaringannya tersebar mulai dari toko, apotek, swalayan, hingga hypermarket Giant (lihat "Format Ritel Hero"). Persoalannya, seperti diungkap di atas, akuisisi ini adalah sebuah desain. Juga, strategi pengembangan. Namun, tepatkah langkah ini?

Format Ritel Hero
--------------------------
-----------------------------------------------
Nama Jenis Jumlah
-------------------------------------------------------------------------
Hero Supermarket Pasar swalayan 89
Guardian Apotek dan jaringan pengecer produk pribadi 69
Star Mart Convenience store 38
Giant Hypermarket 3
Total 199
-------------------------------------------------------------------------
Sumber: PT Hero Supermarket Tbk.
Keterangan: 22 gerai Tops membuat Hero Supermarket menjadi 111 gerai. Dalam waktu dekat, akan dibuka 3-5 Hero Supermarket, 2-3 Giant, serta beberapa Star Mart dan Guardian.

Tunggu sebentar, sebelum menjawab hal itu, muncul pertanyaan lain: betulkah ini strategi Hero sebagai pemain lokal alias kepentingannya? Atau, ini kepentingan global Dairy Farm International Holdings Ltd. yang gerah melihat Carrefour mengiris-ngiris Asia?

Pertanyaan itu muncul karena Dairy sebagai pemegang 37% saham Hero, adalah raja ritel Asia yang sedang agresif-agresifnya. Pada 2002, kelompok usaha yang termasuk anggota Jardine Matheson Group ini begitu rakus mencaplok dan mengembangkan sayapnya. Oktober 2002, Dairy mengakuisisi 22 gerai jaringan supermarket Kayo di Taiwan. Di Cina, Dairy melebarkan jaringan 7-Eleven di Guandong menjadi 61 toko dan segera menambah 65 gerai. Akhir Desember 2002, Korea Selatan dimasuki untuk membangun toko kesehatan dan kecantikan.

Yang patut dicatat -- karena hal ini menimbulkan pertanyaan di atas -- pada 2 Mei 2003, Dairy mencapai persetujuan dengan Royal Ahold NV untuk mengakuisisi 34 supermarket Tops di Malaysia. Supermarket Tops yang akan segera di-rebranded menjadi Giant and Cold Storage ini membuat rantai hypermarket dan supermarket Dairy menjadi 47 gerai di negeri jiran itu. Lantas, apa hubungannya dengan Tops Indonesia?

Pada 4 Juni 2003 atau sehari sebelum faks diterima SWA, perusahaan Belanda ini mengumumkan akan segera menjual US Foodservice, perusahaan distributor makanan terbesar di AS setelah Sysco Corp. Inilah buntut yang meletus sejak Februari 2003. Di bulan itu, manajemen Ahold mengakui, Foodservice, perusahaan miliknya yang berbasis di Maryland, AS, menggembungkan labanya sebesar US$ 880 juta selama kurun 2000-2002. Di AS, Ahold mengoperasikan 1.600 gerai dalam 6 bendera (Stop & Shop, Giant-Landover, Giant-Carlisle, Tops, BI-LO, dan BrunoĆ¢€™s). Sebagai catatan, Giant miliknya ini tak ada hubungannya dengan Giant Hypermarket yang dikembangkan Dairy. Giant milik Ahold dibangun bersama Giant Food Inc.

Skandal akuntansi (kendati tak sebesar Enron) ini memang memojokkan Ahold. Namun, bukan itu yang membuat Foodservice dijual. Ahold juga ditimpa dua masalah besar selain citranya yang merosot: utang US$ 14 miliar dan bisnis yang tidak fokus (perusahaan ini tak hanya masuk ke ritel tapi juga real estat, distribusi, logistik, hingga periklanan). Penjualan Foodservice merupakan bagian dari strategi Ahold mengurangi utang serta menata portofolio bisnisnya yang amburadul. Begitu juga tujuan penjualan Tops Malaysia dan Tops Indonesia.

Di Indonesia, Ahold pertama kali masuk ke pasar ritel melalui technical service agreement dengan Grup PSP di tahun 1996. Persetujuan ini berakhir pada 2002 dan membuat Ahold Tops Indonesia yang berawak 1.600 orang dengan total penjualan 2002 mencapai 37 juta Euro, menjadi anak usaha Royal Ahold sepenuhnya (100%). Jadi?

Mari kita lihat. Tops Malaysia dan Indonesia dibeli Dairy dalam waktu berdekatan. Bedanya, di Malaysia melalui Dairy Farm Giant Retail Sdn. Bhd., sementara di Indonesia melalui Hero. Bukankah ini sebuah desain? Dan siapa lagi sang pemilik desain kalau bukan Dairy yang tak tertutup kemungkinan mempunyai kesepakatan tersendiri dengan Ahold (mungkin Dairy akan kembali membeli jaringan Ahold di tempat lain)?

"Itu (pembelian Tops Malaysia) adalah separated transaction dan tidak ada hubungannya dengan Indonesia," sergah Ipung. Di Tanah Air, lanjutnya, evaluasi akuisisi dilakukan oleh manajemen Hero yang 50,1% sahamnya dimiliki keluarga Saleh Kurnia lewat bendera PT Hero Pusaka Sejati. Bukan oleh Dairy. Perusahaan yang pada 2002 mencetak laba bersih US$ 343 juta itu, ia menegaskan, hanya membantu manajemen Hero dalam technical knowhow sehari-hari.

Jelas Ipung layak berbicara seperti itu. Namun, di luar perseroan, berita burung beredar kuat. Isinya: sebagai CEO, Ipung kurang memiliki "taring" karena orang-orang Dairy, di bawah pimpinan Michael Kok yang menjabat COO Hero, diisukan banyak bercokol dan mengatur kendali operasinal Hero sehari-hari. Isu yang jelas-jelas tak mudah dikonfirmasi sekalipun ada fakta menyeruak. Lihat Giant. Dalam situsnya, dairyfarmgroup.com, manajemen Dairy begitu bangga mengatakan bahwa tahun 2002, di tengah agresivitasnya mencaplok ritel-ritel Asia, mereka membangun 6 hypermarket Giant di Asia Tenggara, termasuk dua di Indonesia. Lho, apa hubungannya?

Masih di situs yang sama, manajemen Dairy mengungkap bahwa mereka percaya format Giant (hypermarket) sangat sempurna untuk melengkapi format ritel Hero sehingga berencana membuka lebih banyak di Indonesia. Dari hal itu, kuat dugaan, Dairy-lah yang memengaruhi manajemen Hero mendirikan Giant. Memengaruhi untuk menggempur Carrefour yang makin menggila dan tak kenal belas kasih. Dengan kata lain, Hero diibaratkan menjadi kuda Troya bagi Dairy, perusahaan papan atas Asia yang per 31 Desember 2002 mengoperasikan 2.300 gerai di pelbagai belahan Asia termasuk supermarket, hypermarket, toko kesehatan dan kecantikan, convenience store, serta restoran.

Tak keliru bila asumsi seperti itu muncul. Tops Malaysia dicaplok. Lalu, Giant yang notabene hypermarket usungan Dairy di Malaysia dan Singapura, dibawa ke Indonesia. Namun, asumsi itu juga mudah dipatahkan. Bukankah hal yang wajar bila Hero yang gerah atas sepak terjang Carrefour lantas bersinergi dengan Dairy yang tak rela Asia dicabik-cabik?

Tentu saja hak Dairy kalau memang ia bertindak seperti itu. Seperti Odysseus, Raja Ittacha yang membuat kuda Troya untuk menghancurkan kota Troy dalam epik besar karya Homer. Maklum, Hero adalah bagian dari kerajaannya. Namun, juga hak Hero bersinergi semacam itu. Artinya, sudut pandangnya diubah; inilah cara bertahan sang perintis pasar swalayan Indonesia. Dan kembali ke atas, pertanyaan yang lebih penting justru: tepatkah langkah akuisisi Tops? Bisakah ini membuat Hero memenangkan perang di medan ritel nasional?

Menjawabnya, harus memetakan terlebih dulu lanskap bisnis ritel nasional. Kemudian, melihat dan mengaitkan dengan posisi Hero sebagai salah satu pemain.

Membincang lanskap bisnis ritel, menurut Yuswohady, Kepala Corporate & Strategy Practice MarkPlus&Co, harus diakui Carrefour yang luar biasa agresif (sejak 1998 membangun 10 gerai) telah membuat guncangan besar. Dan bagi Hero, Carrrefour adalah ancaman mematikan. Pasalnya, regulasi memungkinkan jagoan Prancis itu masuk ke central business distric (pusat perkantoran) dan secondary business distric (pertemuan jalan utama di jantung kota) yang notabene merupakan wilayah Hero Supermarket.

Persoalan makin menyakitkan karena selain mengusung konsep one stop shopping yang membuat pilihan barang teramat banyak, Carrefour juga bermain di harga yang serendah-rendahnya. Sementara itu, supermarket Hero masih terbatas di barang-barang pokok, seperti makanan dan toiletries.

Itu di pasar swalayan. Di sektor minimarket, Hero juga mesti menyaksikan ritel-ritel lokal muncul bak cendawan di musim hujan. Memang, Star Mart tidak memfokuskan diri ke perumahan atau pinggiran kota, tetapi ke perkantoran serta apartemen. Namun, tak urung, minimarket ini terkepung peritel lokal, terutama Indomart dengan 741 gerai dan Alfamart (425 gerai). Alhasil, kecuali Guardian yang lokasinya hampir selalu bersama Hero, di tengah lanskap yang bergoyang keras, Hero yang sepanjang 2002 membuka 2 Giant, 15 supermarket, 8 Star Mart, dan 16 Guardian, digempur habisan-habisan.

Giant yang hadir pada 2002 -- akan terus bertambah di tahun-tahun selanjutnya -- sulit dimungkiri merupakan penanding Carrefour. Memang, kendati ramai dikunjungi, Giant terbilang baru sehingga belum terlampau bisa dievaluasi. Namun, dengan rencana penambahan yang cukup banyak, Giant menimbulkan harapan bagi Hero menghantam Carrefour (juga peritel lain). Apalagi, Hero mencoba bermain ke pinggir seperti di Tangerang dan Cimanggis (Depok), serta segera menyusul akhir Juli ini di Bekasi. Bagaimana dengan Tops?

Di mata Yuswohady, terlepas apakah akuisisi itu arahan Dairy atau bukan, secara strategi tidaklah mengerankan Tops dicaplok. Hematnya, dalam format ritel Hero, supermarket merupakan silver bullet (ritel unggulan) sehingga semua reputasi dan investasi dipertaruhkan di sana. Maklum, dalam format ritel Hero, proporsi supermarket adalah mayoritas (44,7%) dan menjadi 50,2% begitu 22 gerai Tops berganti nama. Mengakuisisi Tops ibarat langkah preemptive strike: mengambil dulu sebelum diembat ritel lain.

Memang, dilihat dari brand awareness, Tops terbilang kurang top. Namun, selain langkah preemptive strike, Tops terhitung bagus dipandang dari sudut lokasi. Dan ini diakui Ipung. Menurutnya, Tops yang banyak bercokol di Bandung dan Surabaya akan memperkuat jaringan supermarket Hero di dua kota tersebut yang dirasa masih kurang. Di Kota Kembang, selama ini Hero hanya berkutat dengan 6 supermarket dan 6 Guardian. Di Kota Buaya, hanya empat supermarket, 6 Guardian, dan tahun lalu Giant. "Setidaknya Tops akan menyumbang sekitar 20% dari total pendapatan perusahaan," ungkap Ipung.

Toh meski mengakui penting, Ipung menyangkal bila pengembangan perusahaannya (organik maupun akuisisi) dilakukan berdasarkan nafsu bersaing dengan kompetitor asing. Ini semua (termasuk Giant dan Tops), katanya, merupakan strategi memperkuat jaringan pemasaran semata.

Di Cimanggis dan Tangerang, itu mungkin. Namun, Bandung jadi bukti betapa Hero memang bertarung dengan Carrefour. Dan bukan hanya bertarung, tapi siap menghantam. Tilik saja, selain memperkuat jaringan supermarket lewat Tops, di Paris van Java ini Hero adu jidat dengan Carrefour. Giant akan dibangun dekat pintu tol Pasteur, sementara Carrefour siap membuka diri di Jl. Moh. Toha (dekat pintu tol Kopo). Menariknya, kedua pintu tol ini adalah ruas jalan tol Padalarang-Cileunyi.

Lupakan dulu soal nafsu bersaing atau tidak -- sekalipun agresivitas Hero memunculkan penafsiran seperti itu. Pertanyaan kemudian yang tak kalah penting, bisakah itu menjadikan Hero perusahaan yang oke?

Menilik lokasi, akuisisi Tops memang signifikan dan bisa dikategorikan tepat secara strategi. Namun, untuk menyimpulkan langkah ini segera membuat Hero menjulang, mesti hati-hati. Perhatikan kinerja keuangan Hero. Kurun 1998-2002, omset Hero memang terus meningkat. Namun, selama kurun itu juga, laba bersih terus merosot. Terakhir, 2002, Hero hanya mampu mencetak laba bersih Rp 30 miliar sementara pada 2001 meraup Rp 61 miliar. Ujungnya, investor pun terimbas. Laba bersih per saham terus terjun bebas. Tahun lalu laba per saham hanya Rp 93 (lihat "Kinerja Keuangan PT Hero Supermarket Tbk.).

Kinerja Keuangan PT Hero Supermarket Tbk. (dalam Rp miliar)
---------------------------------------------------------------
2002 2001 2000 1999 1998
---------------------------------------------------------------
Penjualan bersih 2.396 1.989 1.692 1.491 1.380
Laba kotor 516 451 372 343 321
Laba usaha 41 82 82 79 72
Margin operasional (%) 1,73 4,14 4,88 5,35 5,22
Laba (rugi) bersih 30 61 67 90 (68)
Laba (rugi) per saham
(dalam rupiah) 93 235 290 386 (293)
Total aset 963 834 820 710 644
ROA (%) 3,18 7,42 8,25 12,79 (10.70)
---------------------------------------------------------------
Sumber: Laporan Keuangan Hero

Dalam Laporan Keuangan, Ipung memberi penjelasan muramnya kinerja Hero. Intinya, secara eksternal, persaingan harga di dunia ritel membuat margin operasional terus merosot. Tahun 2002, hanya 1,73% sementara tahun 2001 mencapai 4,14%. Sementara itu, secara internal, beban usaha terus melonjak. Pada 2002, mencapai Rp 475 miliar, atau naik 28,6% dari tahun 2001 (Rp 369 miliar). Tak heran, laba usaha ikut-ikutan anjlok. Tahun 2002 cuma Rp 41 miliar, merosot dua kali lipat dibanding 2001.

Ironisnya, problem ini tampaknya akan terus belanjut. Sepanjang kuartal I/2003 saja, laba bersih tercukur hingga 71,4% menjadi Rp 4,3 miliar dibanding periode yang sama tahun 2002 (Rp 14,4 miliar). Padahal, penjualan melejit jadi Rp 622 miliar dari Rp 541 miliar. Dan usut punya usut, kembali, ini gara-gara beban usaha yang tak henti berlari: menjadi Rp 121 miliar dari Rp 109,6 miliar.

Lantas, apa artinya ini semua?

Ekspansi Hero, baik secara organik maupun akuisisi, memang diprediksi mampu menggenjot penjualan di samping menggempur ritel-ritel lain. Akan tetapi, selama beban usaha dan beban penjualan tak bisa ditekan, lalu margin operasional juga tak kunjung meningkat, sulit buat Hero menjadi perusahaan berkilau. Celakanya, dengan persaingan ritel yang kian ketat dan saling bermain merendahkan harga, hal itu diprediksi cenderung terjadi. Dan inilah problem yang membelit Hero, yang mesti mendapat perhatian ekstra, bukan saja dari Ipung tapi juga dari rekan-rekannya di Dairy.

Menghadapi masalah ini, Yuswohady menyarankan Hero melakukan beberapa hal. Prioritas pertama, menguatkan supply chain management (SCM) agar operasional perusahaan lebih efisien. Kedua, tidak terpancing bermain di mass market. Selain sudah penuh, bermain di sektor ini akan mengandalkan permainan harga. "Padahal, konsumer mass market sangat cepat berpindah kalau ada yang menawarkan lebih rendah," katanya. "Hero harus penetrasi lebih dalam ke daerah ibu-ibu berduit," sambungnya. Ketiga, terus bertahan dengan citra kualitas yang bagus. Kemudian, memberi layanan yang tidak diberikan peritel lain.

Di luar ketiga hal di atas, Yuswohady juga menyarakan dua hal lain yang berada di tingkatan strategis. Pertama, menyegmentasi ulang pasarnya. Ditegaskan kembali siapa konsumennya dan bagaimana membangun konsumen loyalis lewat Customer Relationship Management yang mumpuni. Kedua, menilik kembali pola ekspansinya. Menurutnya, bukan hal yang merugikan jika Hero mulai merangsek ke daerah. "Ada baiknya daerah digarap lebih serius, terlebih dengan adanya otonomi daerah," sarannya.

Beberapa daerah yang disarankannya disasar adalah kota-kota kedua, seperti Purwokerto atau Madiun. "Pemain asing posisinya akan lemah di luar Jakarta, terutama di kota kedua," katanya. Menyasar ke daerah ini, sebaiknya juga dilakukan Star Mart. Persoalannya, semua saran itu bukan tanpa kerikil. Selain Star Mart akan bertarung dengan ribuan ritel lokal yang sudah menjamur, Hero juga akan semakin dituntut untuk mengefisiensikan SCM-nya.

SCM. Di luar langkah-langkah eskpansi yang penuh harap serta saran meresegmentasi konsumen, pada akhirnya inilah komponen inti yang mendesak diperbarui agar Hero mampu bersinar -- karena langkah ekspansi bisa dievaluasi. Sejauh ini, manajemen Hero telah bekerja keras mengurangi ruang-ruang di Pusat Distribusinya di Cibitung untuk menekan modal kerja. Sayang, menilik kinerja kuartal I/2003, tampaknya ini memang benar-benar menjadi pekerjaan rumah buat Hero. Dan aha, juga buat Dairy. Sebagai pemilik, sangatlah layak jika Dairy juga memberikan sentuhan midasnya di aspek ini. Tentunya, agar tak sekadar dicap sebagai penunggang.

Riset: Asep Rohimat dan Siti Sumariyati

Sumber : www.opensubscriber.com

Grand Strategi Indonesia dalam menghadapi CAFTA

Di BaLik PeRdagangan Bebas FTA7CAFTA


Oli-h H. EDDY JUSUF

PEMERINTAH Indonesia meminta penundaan pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas (free trade ag-reement/FTA) antara sesama negara di ASEAN serta antara ASEAN dan Cina (CAFTA), terkait dengan sejumlah sektor industri yang belum siap menghadapi pasar bebas, mulai 1 Januari 2010. Pemerintah melalui Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, juga mengklarifikasi sektor industri yang menyatakan belum bisa bersaing dalam CAFTA, termasuk terkait dengan berbagai kesiapannya.

Sepuluh sektor industri yang sebelumnya menyatakan keberatan terhadap pelaksanaan CAFTA di antaranya baja, petrokimia, tekstil, dan produk tekstil (TPT), serta makanan dan minuman, meminta dikaji ulang. Selain itu, pemerintah akan mengajukan surat "ke ASEAN sebelum pelaksanaan CAFTA dimulai, mengingat dalam pelaksanaan CAFTA, hampir seluruh negara ASEAN masih keberatan.

Di balik perdagangan bebas FTA/CAF-TA ini, pemerintah terlambat melakukan manuver perdagangan dan akselerasinya dalam meningkatkan daya saing industri nasional. Munculnya FTA/CAFTA suatu bukti bahwa dunia perdagangan global tak terpaku diam dan menunggu arus, tetapi sesuatu yang mesti dipahami semua

negara serta pelaku bisnis bahwa hal itu terus bergerak. Jadi, siap atau tidak siap FTA/CAFTA akan memasuki ranah perdagangan dunia maupun ASEAN. Persoalannya, apakah kesiapan itii sudah diperoleh oleh industri Wta?

Dunia industri dan perdagangan nasional harus siap berhadapan dengan raksasa industri seperti Cina. Pada satu sisi, pemerintah menemui kendala dalam melakukan terobosan-tero-bosan dalam memberikan insentif fiskal ke sektor industri di dalam negeri, seperti insentif dalam pengadaan bahan baku, akses permodalan, dan bunga perbankan yang rendah dan menekan ekonomi biaya tinggi. Pada sisi lain, pemerintah juga berkewajiban untuk mengamankan pasar dalam negeri agar tidak menjadi sasaran empuk produk impor.

Ha) yang perlu menjadi perhatian dunia industri dan perdagangan, yakni dampak dari pelaksanaan FTA terhadap kelangsungan usaha di tanah air. Para pebisnis dan industriawan, juga dijejali kesiapan diri guna mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi dan menyelesaikan persoalan technical barrier yang selama ini kerap terjadi.

Harus diakui, menjelang FTA/CAFTA semua negara takut bersaing dengan Cina. Negara itu berinvestasi 500 miliar

dolar AS untuk membangun infrastruktur dan merestrukturisasi industrinya sehingga lebih efisien. Akhirnya, proteksi menjadi jalan terakhir agar tidak kalah bersaing. Hal itu sangat wajar karena Amerika Serikat dan Uni Eropa pun memproteksi industrinya untuk melindungi perekonomian negara mereka, guna menghindari sasaran impor Cina.

Mau tak mau, pemerintan harus melindungi pasar domestik dari serbuan produk impor. Jika pemerintah membiarkan, dipastikan akan mengurangi pangsa pasar produk industri manufaktur dalam negeri yang selama ini belum stabil dalam memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan rakyat Peraturan (larangan impor produk tertentu) yang sempat dibuat pemerintah karena adanya kekhawatiran dampak dari pasar bebas tetap harus diapresiasi sepenuhnya. Namun, hingga kini pemerintah belum terlihat secara nyata membuat roadmap guna memperkuat sektor industri manufaktur nasional. Padahal, hal itu sudah harus dilakukan, meski muncul sinyalemen penundaan satu atau dua bulan.

Selain itu, pemerintah juga harus mempelajari lebih dalam, isi perjanjian FTA/CAFTA dan dampak sosialnya. Jika pemerintah berpihak kepada rakyat dan memiliki komitmen tinggi terhadap nasib industri nasional, selayaknyalah dalam waktu kurang satu bulan sebelum penandatanganan FTA/CAFTA ada tim lintas departemen untuk mengkaji dan mengawal pascapenandatanganan nanti.

Malaysia memberlakukan bea masuk impor 25 persen terhadap produk impor untuk melindungi produk dalam negerinya, sedangkan Indonesia hanya 5 persen. Hal ini yang mestinya juga dipikirkan agar produk industri nasional dapat berdaya

saing dan tidak sebaliknya seperti saat ini.

Kalau melihat dari sisi kesiapan industri nasional, seharusnya pemerintah menerapkan strategi industri nasional sesuai dengan kluster agar mereka mampu meningkatkan daya saing antara negara-negara ASEAN dan Cina, India, serta Australia pada 2010. Artinya, pemerintah ha-rus memperkuat pasar domestik, sebab sektor ini telah terbukti dan teruji menyelamatkan bangsa Indonesia dari krisis global lalu. Perlu pula dipahami bahwa zona ini nantinya akan mensyaratkan penerapan tarif impor nol persen untuk semua sektor sehingga dapat mengakibatkan banjir produk Cina ke Indonesia.

Dari kondisi tersebut pemerintah sudah harus serius memikirkan dan merevitalisasi perencanaan masa depan industri nasional dan mengubah struktur perekonomian dari sekadar mengekspor barang mentah ke ekspor barang jadi. Artinya, stop ekspor bahan mentah semata, tingkatkan nilai tambah dan tidak lagi melakukan ekspor gas, minyak sawit, kakao, atau jenis lainnya, akan tetapi harus membuat produk turunannya sehingga peluang pekerjaan bagi rakyat segera terwujud.

Di samping itu, harus ada keberanian mengubah beberapa peraturan dan perundangan yang menghambat penciptaan iklim investasi yang kondusif, karena dari perkembangan investor yang masuk diprediksi tidak akan banyak mengalami perubahan. Selama ini, pertumbuhan ekspor Indonesia hanya bertumpu pada sumber daya alam setengah jadi, sedangkan ekspor produk jadi mengalami pe-

Penulis, Guru Besar Kopertis Wilayah I\, Jabar dan Banten, dpk. Universitas Pasundan Bandung.


Sumber : www.bataviase.co.id

Grand Strategi Pertanian

Grand Strategi Prov. Jawa Timur 2025 Sebagai: "Pusat Agribisnis Terkemuka, Berdaya Saing Global




Kamis, 2 April 2009 22:35:39 - oleh : admin

logammuKenaikan harga beberapa komoditas pertanian di pasar global begitu mengguncangkan akhir-akhir ini, gejala awalnya telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Sumber permasalahan dari semua ini tidak lepas dari shock eksternal yang dimulai dari kenaikan harga minyak mentah dunia akibat adanya konflik di Timur Tengah serta gangguan produksi di beberapa Negara yang mengganggu pasokan minyak dunia.

Kenaikan harga di pasar internasional yang cenderung tidak terkontrol, memacu Negara-negara bukan penghasil minyak dan pengkonsumsi minyak terbesar di Eropa, Asia dan Amerika untuk mencari subtitusi energi pengganti. Salah satu alternative yang kemudian ditempuh adalah melalui pengembangan bio-energi yang juga dianggap cukup ramah lingkungan dibanding energi fosil yang menjadikan iklim bumi kian memanas (global warming).

Pengembangan bio-energi ini menjadikan komoditas-komoditas pangan seperti jagung, tebu, bunga matahari, jarak, CPO, dan lain-lain merupakan bahan baku bio-energi diproduksi secara besar-besaran. Konsekwensinya, terjadi konversi lahan pertanian di Negara-negara sentra produksi pangan dunia dari lahan yang digunakan untuk menghasilkan komoditas pangan ekspor menjadi bahan baku bio-energi. Selanjutnya, pasokan pangan kebutuhan dunia pun melorot drastic dan harga-harga pangan di pasar internasional pun menjadi meningkat tajam. Fenomena mutakhir ini masih akan berlanjut di masa mendatang.

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam laporan OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016, edisi Juli 2007, suplai dan stok komoditas pangan dan pertanian dunia diperkirakan mengalami penurunan. Penyebabnya, selain diakibatkan perubahan iklim global, penurunan stok dipicu oleh tingginya permintaan pasar terhadap sejumlah komoditas pertanian untuk bahan baku energi. Kemudian, pada Laporan Food Outlook edisi November 2007, FAO menegaskan bahwa kenaikan harga beras dunia sampai pada harga di atas US$ 330 per ton adalah rekor tertinggi dalam 20 tahun terakhir, dan bahkan pada 24 April 2008 lalu harga beras Thailand telah mencapai US$ 1000 per ton.

Secara rata-rata, kenaikan harga tahun 2007 adalah 16 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga beras pada tahun 2006. Kenaikan harga pangan pokok bangsa Asia ini lebih diperparah dengan kenaikan harga pangan lain seperti gandum, susu, daging dan lain-lain. Lebih merumitkan lagi, keterkaitan harga beras sangat terkait dengan laju inflasi dan elemen ekonomi makro yang sangat terkait dengan pola kebijakan ekonomi secara umum.

Laporan terbaru FAO itu juga menyinggung bahwa kenaikan harga pangan pokok dunia telah menyebabkan kenaikan 18 persen harga pangan di Cina, 13 persen di Indonesia dan Pakistan, 10 persen di Amerika Latin, Rusia, India dan lain-lain. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan bahwa kenaikan harga bahan makanan telah menyumbang sekitar 75 persen dari laju inflasi 1,10 persen pada Desember 2007. Tidak kurang dari pejabat lembaga dunia setingkat Direktur FAO Jacques Diouf bahkan juga memberikan peringatan bahwa "kombinasi dari kenaikan harga minyak mentah dan kenaikan harga pangan dapat menyebabkan krisis sosial yang sangat serius di masa mendatang" (The Guardian, 3 November 2007).

Produksi beras di tingkat dunia sebenarnya tidaklah terlalu buruk, walau memang sedang mengalami pelandaian (leveling-off) karena peningkatan produksi lebih banyak hanya mengandalkan pertambahan areal panen. Produksi beras global diperkirakan sekitar 643 juta ton pada tahun 2007 atau equivalent 429 juta ton beras. Angka tersebut juga sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan produksi beras 581 juta ton pada tahun 2006 atau dari perkiraan Food Outlook FAO sebelumya pada edisi Juni 2007. Kenaikan produksi di India, Myanmar dan Indonesia diperkirakan cukup signifikan untuk meningkatkan produksi beras dunia tahun 2007. Persoalan menjadi agak kompleks ketika produktivitas beras rata-rata dunia nyaris tidak bertambah pada beberapa tahun terakhir dan tercatat hanya 4,1 ton per hektar.

Ancaman krisis pangan di belahan bumi lain bahkan lebih menakutkan, terutama karena pertambahan penduduk, pemanasan global dan ketidakpastian iklim serta ancaman ekologis karena keterlambatan adaptasi dan mitigasi peruabahan iklim. Menurut laporan Program Pangan Dunia (WFP), sebanyak 57 negara (29 di Afrika, 19 di Asia dan 9 di Amerika Latin) juga terkena terpaan banjir dan bencana ekologis yang menakutkan. Di pihak lain, bencana kekeringan dan gelombang panas juga melanda beberapa tempat di Asia, Eropa, Cina, Mozambik dan Uruguay. Di Australia, yang menjadi salah satu produsen gandum dunia, bencana kekeringan tahun 2007 lalu telah menurunkan produksi gandum sekitar 40 persen (sekitar 4 juta ton). Tidak heran jika kondisi suplai gandum dunia agak terganggu dan melonjakkan harga gandum di pasar global.

Laporan WFP tersebut juga menyebutkan bahwa sekitar 854 juta jiwa di seluruh dunia terancam kelaparan. Kelompok rawan pangan ini bertambah sekitar 4 juta jiwa per tahun, sehingga kenaikan harga pangan dunia saat ini benar-benar di luar jangkauan mereka dari kelompok lapis paling bawah tersebut. Hal serupa juga tengah mengancam Indonesia.

Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, ancaman krisis pangan di Indonesia akan terjadi akibat ketimpangan jumlah penduduk dan ketersediaan lahan pangan yang makin tidak seimbang. Dengan laju pertumbuhan penduduk berkisar antara 1,3-1,5 persen sedangkan luas lahan pertanian tidak bertambah, Indonesia dikhawatirkan pada tahun 2017 nanti tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangannya.

Keterkaitan antara laju permintaan pangan dan pertumbuhan penduduk ini adalah tesis dasar teori pembangunan pertanian klasik. Hampir setengah abad lalu, Prof. Bruce Johnston dari Stanford University dan Prof. John Mellor (Cornell University) menyampaikan suatu persamaan sederhana bahwa laju permintaan pangan suatu negara ditentukan oleh laju permintaan penduduk, laju pertumbuhan ekonomi, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan tersebut.

Dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia 1,3 persen, pertumbuhan ekonomi 6,1 persen, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan sekitar 0,6, maka laju permintaan pangan Indonesia sekitar 4,96 persen per tahun. Karena itu, untuk menghindar dari krisis pangan yang berkepanjangan, pertumbuhan pasok pangan di Indonesia harus mencapai 5 persen atau lebih per tahun.

Adapun strategi yang baik tentu saja adalah dengan memprioritaskan pemenuhan pangan dari produksi dalam negeri, karena vulnerebilitas sosial-ekonomi-politik apabila mengandalkan pemenuhan pangan dari impor. Untuk pangan pokok, khususnya beras, peningkatan produksi domestik menjadi demikian mutlak, karena negara produsen beras besar -- seperti China, Vietnam, India, dan Pakistan -- semakin hati-hati dalam melempar produk mereka ke pasar internasional. Amerika Serikat pun bertindak serupa untuk komoditas gandum, jagung, dan kedelai, sehingga secara signifikan melonjakkan harga komoditas pangan tersebut di pasar global.

Dalam realitas aktual serupa itu, Provinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional tentu saja menjadi semakin strategis perannya pada masa-masa mendatang. Hanya saja, Jawa Timur -- seperti juga Indonesia pada umumnya -- masih harus tetap mewaspadai pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Namun demikian, persoalan baru tentang kompleksitas baru berkaitan dengan perubahan pola perdagangan komoditas pangan di tingkat global, juga harus dapat diantisipasi secara baik. Ini berarti Provinsi Jawa Timur -- termasuk juga Indonesia -- tidak boleh hanya berkutat dengan persoalan konversi lahan sawah, kelangkaan pupuk, ketersediaan air, buruknya jaringan irigasi, dan lain-lain, yang berarti tidak beranjak dari persoalan pada era 1980-an. Pembangunan subsektor pangan dan sektor pertanian ke depan wajib bervisi peningkatan produktivitas lahan dan produktivitas tenaga kerja.

Pencetakan sawah baru memang tetap penting, tetapi berbagai upaya yang mengarah kepada peningkatan produktivitas pangan per satuan luas lahan jauh lebih penting dan bermakna bagi kesejahteraan rakyat. Apabila laju peningkatan produktivitas ini lebih besar dari laju penurunan rasio lahan terhadap tenaga kerja-karena lahan nyaris tetap, sedangkan tenaga kerja terus bertambah-krisis pangan akan dapat dihindari.

Karena itu, perubahan tekonologi di bidang pangan dan pertanian menjadi sangat mutlak dan tidak dapat diabaikan dalam penyusunan strategi dan kebijakan ekonomi pangan ke depan. Sebab, krisis pangan sejatinya akan dapat dihindari apabila berbagai program peningkatan produksi pangan tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi target politik semata. Pemikiran ini menjadi landasan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang dalam jangka panjang (Jawa Timur, 2025) mengancangkan visi sebagai "Pusat Agribisnis Terkemuka, Berdayasaing Global, dan Berkelanjutan" melalui peningkatan kesejahteraan petani sebagai pelaku sentral dalam pembangunan pertanian.


Sumber :
http://www.disperindag-jatimprov.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=6
Copyright 2009 WuLaN AgUsTiNa. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy