Oli-h H. EDDY JUSUF
PEMERINTAH Indonesia meminta penundaan pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas (free trade ag-reement/FTA) antara sesama negara di ASEAN serta antara ASEAN dan Cina (CAFTA), terkait dengan sejumlah sektor industri yang belum siap menghadapi pasar bebas, mulai 1 Januari 2010. Pemerintah melalui Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, juga mengklarifikasi sektor industri yang menyatakan belum bisa bersaing dalam CAFTA, termasuk terkait dengan berbagai kesiapannya.
Sepuluh sektor industri yang sebelumnya menyatakan keberatan terhadap pelaksanaan CAFTA di antaranya baja, petrokimia, tekstil, dan produk tekstil (TPT), serta makanan dan minuman, meminta dikaji ulang. Selain itu, pemerintah akan mengajukan surat "ke ASEAN sebelum pelaksanaan CAFTA dimulai, mengingat dalam pelaksanaan CAFTA, hampir seluruh negara ASEAN masih keberatan.
Di balik perdagangan bebas FTA/CAF-TA ini, pemerintah terlambat melakukan manuver perdagangan dan akselerasinya dalam meningkatkan daya saing industri nasional. Munculnya FTA/CAFTA suatu bukti bahwa dunia perdagangan global tak terpaku diam dan menunggu arus, tetapi sesuatu yang mesti dipahami semua
negara serta pelaku bisnis bahwa hal itu terus bergerak. Jadi, siap atau tidak siap FTA/CAFTA akan memasuki ranah perdagangan dunia maupun ASEAN. Persoalannya, apakah kesiapan itii sudah diperoleh oleh industri Wta?
Dunia industri dan perdagangan nasional harus siap berhadapan dengan raksasa industri seperti Cina. Pada satu sisi, pemerintah menemui kendala dalam melakukan terobosan-tero-bosan dalam memberikan insentif fiskal ke sektor industri di dalam negeri, seperti insentif dalam pengadaan bahan baku, akses permodalan, dan bunga perbankan yang rendah dan menekan ekonomi biaya tinggi. Pada sisi lain, pemerintah juga berkewajiban untuk mengamankan pasar dalam negeri agar tidak menjadi sasaran empuk produk impor.
Ha) yang perlu menjadi perhatian dunia industri dan perdagangan, yakni dampak dari pelaksanaan FTA terhadap kelangsungan usaha di tanah air. Para pebisnis dan industriawan, juga dijejali kesiapan diri guna mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi dan menyelesaikan persoalan technical barrier yang selama ini kerap terjadi.
Harus diakui, menjelang FTA/CAFTA semua negara takut bersaing dengan Cina. Negara itu berinvestasi 500 miliar
dolar AS untuk membangun infrastruktur dan merestrukturisasi industrinya sehingga lebih efisien. Akhirnya, proteksi menjadi jalan terakhir agar tidak kalah bersaing. Hal itu sangat wajar karena Amerika Serikat dan Uni Eropa pun memproteksi industrinya untuk melindungi perekonomian negara mereka, guna menghindari sasaran impor Cina.
Mau tak mau, pemerintan harus melindungi pasar domestik dari serbuan produk impor. Jika pemerintah membiarkan, dipastikan akan mengurangi pangsa pasar produk industri manufaktur dalam negeri yang selama ini belum stabil dalam memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan rakyat Peraturan (larangan impor produk tertentu) yang sempat dibuat pemerintah karena adanya kekhawatiran dampak dari pasar bebas tetap harus diapresiasi sepenuhnya. Namun, hingga kini pemerintah belum terlihat secara nyata membuat roadmap guna memperkuat sektor industri manufaktur nasional. Padahal, hal itu sudah harus dilakukan, meski muncul sinyalemen penundaan satu atau dua bulan.
Selain itu, pemerintah juga harus mempelajari lebih dalam, isi perjanjian FTA/CAFTA dan dampak sosialnya. Jika pemerintah berpihak kepada rakyat dan memiliki komitmen tinggi terhadap nasib industri nasional, selayaknyalah dalam waktu kurang satu bulan sebelum penandatanganan FTA/CAFTA ada tim lintas departemen untuk mengkaji dan mengawal pascapenandatanganan nanti.
Malaysia memberlakukan bea masuk impor 25 persen terhadap produk impor untuk melindungi produk dalam negerinya, sedangkan Indonesia hanya 5 persen. Hal ini yang mestinya juga dipikirkan agar produk industri nasional dapat berdaya
saing dan tidak sebaliknya seperti saat ini.
Kalau melihat dari sisi kesiapan industri nasional, seharusnya pemerintah menerapkan strategi industri nasional sesuai dengan kluster agar mereka mampu meningkatkan daya saing antara negara-negara ASEAN dan Cina, India, serta Australia pada 2010. Artinya, pemerintah ha-rus memperkuat pasar domestik, sebab sektor ini telah terbukti dan teruji menyelamatkan bangsa Indonesia dari krisis global lalu. Perlu pula dipahami bahwa zona ini nantinya akan mensyaratkan penerapan tarif impor nol persen untuk semua sektor sehingga dapat mengakibatkan banjir produk Cina ke Indonesia.
Dari kondisi tersebut pemerintah sudah harus serius memikirkan dan merevitalisasi perencanaan masa depan industri nasional dan mengubah struktur perekonomian dari sekadar mengekspor barang mentah ke ekspor barang jadi. Artinya, stop ekspor bahan mentah semata, tingkatkan nilai tambah dan tidak lagi melakukan ekspor gas, minyak sawit, kakao, atau jenis lainnya, akan tetapi harus membuat produk turunannya sehingga peluang pekerjaan bagi rakyat segera terwujud.
Di samping itu, harus ada keberanian mengubah beberapa peraturan dan perundangan yang menghambat penciptaan iklim investasi yang kondusif, karena dari perkembangan investor yang masuk diprediksi tidak akan banyak mengalami perubahan. Selama ini, pertumbuhan ekspor Indonesia hanya bertumpu pada sumber daya alam setengah jadi, sedangkan ekspor produk jadi mengalami pe-
Penulis, Guru Besar Kopertis Wilayah I\, Jabar dan Banten, dpk. Universitas Pasundan Bandung.
Sumber : www.bataviase.co.id
0 komentar:
Posting Komentar