Kamis, 12 Juni 2003
Oleh : Teguh S. Pambudi dan Herning Banirestu
Di tengah lanskap dunia ritel nasional yang berguncang, Hero terus ekspansif. Namun, betulkah ia hanya jadi "kuda tunggangan" Dairy Farm? Dan bisakah langkah-langkah ekspansif itu membuat Hero cemerlang?
Seminggu lalu, tepatnya 5 Juni 2003, selembar faks mendarat di meja redaksi SWA. Isinya, merekonfirmasi berita yang sudah beredar. Lewat RUPSLB, PT Hero Supermarket Tbk. akhirnya resmi mengakuisisi 22 gerai supermarket Tops di Indonesia. Mengucurkan Rp 111 miliar, 22 gerai Tops itu (secara bertahap akan berganti nama menjadi Hero Supermarket) membuat pasar swalayan Hero berkekuatan 111 buah di Indonesia.
111 dan 111. Suatu kebetulan? "Rencana ini sebenarnya sudah lama, tapi baru terlaksana setelah disetujui RUPSLB," ungkap Ipung Kurnia, Presiden Direktur Hero. Perkara angka yang sama, boleh jadi suatu kebetulan. Namun, bagi perusahaan yang berdiri sejak 1971 ini, Ipung menegaskan, langkah itu tak datang dari langit. Boleh dikata ini sebuah desain. "Akuisisi merupakan bagian dari strategi perseroan untuk berkembang di samping melalui pengembangan organik (menambah gerai)," katanya. Dan satu lagi yang patut dicatat. Dampak akuisisi sangat signifikan terhadap posisi Hero. Selain memperluas jaringan pemasaran, "Kami jadi perusahaan ritel paling lengkap formatnya di Indonesia," ujarnya bangga.
Ipung jelas boleh bangga. Anak perintis Hero, M. Saleh Kurnia, ini juga tak keliru. Format ritel Hero memang tergolong paling lengkap. Jaringannya tersebar mulai dari toko, apotek, swalayan, hingga hypermarket Giant (lihat "Format Ritel Hero"). Persoalannya, seperti diungkap di atas, akuisisi ini adalah sebuah desain. Juga, strategi pengembangan. Namun, tepatkah langkah ini?
Format Ritel Hero
--------------------------
Nama Jenis Jumlah
--------------------------
Hero Supermarket Pasar swalayan 89
Guardian Apotek dan jaringan pengecer produk pribadi 69
Star Mart Convenience store 38
Giant Hypermarket 3
Total 199
--------------------------
Sumber: PT Hero Supermarket Tbk.
Keterangan: 22 gerai Tops membuat Hero Supermarket menjadi 111 gerai. Dalam waktu dekat, akan dibuka 3-5 Hero Supermarket, 2-3 Giant, serta beberapa Star Mart dan Guardian.
Tunggu sebentar, sebelum menjawab hal itu, muncul pertanyaan lain: betulkah ini strategi Hero sebagai pemain lokal alias kepentingannya? Atau, ini kepentingan global Dairy Farm International Holdings Ltd. yang gerah melihat Carrefour mengiris-ngiris Asia?
Pertanyaan itu muncul karena Dairy sebagai pemegang 37% saham Hero, adalah raja ritel Asia yang sedang agresif-agresifnya. Pada 2002, kelompok usaha yang termasuk anggota Jardine Matheson Group ini begitu rakus mencaplok dan mengembangkan sayapnya. Oktober 2002, Dairy mengakuisisi 22 gerai jaringan supermarket Kayo di Taiwan. Di Cina, Dairy melebarkan jaringan 7-Eleven di Guandong menjadi 61 toko dan segera menambah 65 gerai. Akhir Desember 2002, Korea Selatan dimasuki untuk membangun toko kesehatan dan kecantikan.
Yang patut dicatat -- karena hal ini menimbulkan pertanyaan di atas -- pada 2 Mei 2003, Dairy mencapai persetujuan dengan Royal Ahold NV untuk mengakuisisi 34 supermarket Tops di Malaysia. Supermarket Tops yang akan segera di-rebranded menjadi Giant and Cold Storage ini membuat rantai hypermarket dan supermarket Dairy menjadi 47 gerai di negeri jiran itu. Lantas, apa hubungannya dengan Tops Indonesia?
Pada 4 Juni 2003 atau sehari sebelum faks diterima SWA, perusahaan Belanda ini mengumumkan akan segera menjual US Foodservice, perusahaan distributor makanan terbesar di AS setelah Sysco Corp. Inilah buntut yang meletus sejak Februari 2003. Di bulan itu, manajemen Ahold mengakui, Foodservice, perusahaan miliknya yang berbasis di Maryland, AS, menggembungkan labanya sebesar US$ 880 juta selama kurun 2000-2002. Di AS, Ahold mengoperasikan 1.600 gerai dalam 6 bendera (Stop & Shop, Giant-Landover, Giant-Carlisle, Tops, BI-LO, dan BrunoĆ¢€™s). Sebagai catatan, Giant miliknya ini tak ada hubungannya dengan Giant Hypermarket yang dikembangkan Dairy. Giant milik Ahold dibangun bersama Giant Food Inc.
Skandal akuntansi (kendati tak sebesar Enron) ini memang memojokkan Ahold. Namun, bukan itu yang membuat Foodservice dijual. Ahold juga ditimpa dua masalah besar selain citranya yang merosot: utang US$ 14 miliar dan bisnis yang tidak fokus (perusahaan ini tak hanya masuk ke ritel tapi juga real estat, distribusi, logistik, hingga periklanan). Penjualan Foodservice merupakan bagian dari strategi Ahold mengurangi utang serta menata portofolio bisnisnya yang amburadul. Begitu juga tujuan penjualan Tops Malaysia dan Tops Indonesia.
Di Indonesia, Ahold pertama kali masuk ke pasar ritel melalui technical service agreement dengan Grup PSP di tahun 1996. Persetujuan ini berakhir pada 2002 dan membuat Ahold Tops Indonesia yang berawak 1.600 orang dengan total penjualan 2002 mencapai 37 juta Euro, menjadi anak usaha Royal Ahold sepenuhnya (100%). Jadi?
Mari kita lihat. Tops Malaysia dan Indonesia dibeli Dairy dalam waktu berdekatan. Bedanya, di Malaysia melalui Dairy Farm Giant Retail Sdn. Bhd., sementara di Indonesia melalui Hero. Bukankah ini sebuah desain? Dan siapa lagi sang pemilik desain kalau bukan Dairy yang tak tertutup kemungkinan mempunyai kesepakatan tersendiri dengan Ahold (mungkin Dairy akan kembali membeli jaringan Ahold di tempat lain)?
"Itu (pembelian Tops Malaysia) adalah separated transaction dan tidak ada hubungannya dengan Indonesia," sergah Ipung. Di Tanah Air, lanjutnya, evaluasi akuisisi dilakukan oleh manajemen Hero yang 50,1% sahamnya dimiliki keluarga Saleh Kurnia lewat bendera PT Hero Pusaka Sejati. Bukan oleh Dairy. Perusahaan yang pada 2002 mencetak laba bersih US$ 343 juta itu, ia menegaskan, hanya membantu manajemen Hero dalam technical knowhow sehari-hari.
Jelas Ipung layak berbicara seperti itu. Namun, di luar perseroan, berita burung beredar kuat. Isinya: sebagai CEO, Ipung kurang memiliki "taring" karena orang-orang Dairy, di bawah pimpinan Michael Kok yang menjabat COO Hero, diisukan banyak bercokol dan mengatur kendali operasinal Hero sehari-hari. Isu yang jelas-jelas tak mudah dikonfirmasi sekalipun ada fakta menyeruak. Lihat Giant. Dalam situsnya, dairyfarmgroup.com, manajemen Dairy begitu bangga mengatakan bahwa tahun 2002, di tengah agresivitasnya mencaplok ritel-ritel Asia, mereka membangun 6 hypermarket Giant di Asia Tenggara, termasuk dua di Indonesia. Lho, apa hubungannya?
Masih di situs yang sama, manajemen Dairy mengungkap bahwa mereka percaya format Giant (hypermarket) sangat sempurna untuk melengkapi format ritel Hero sehingga berencana membuka lebih banyak di Indonesia. Dari hal itu, kuat dugaan, Dairy-lah yang memengaruhi manajemen Hero mendirikan Giant. Memengaruhi untuk menggempur Carrefour yang makin menggila dan tak kenal belas kasih. Dengan kata lain, Hero diibaratkan menjadi kuda Troya bagi Dairy, perusahaan papan atas Asia yang per 31 Desember 2002 mengoperasikan 2.300 gerai di pelbagai belahan Asia termasuk supermarket, hypermarket, toko kesehatan dan kecantikan, convenience store, serta restoran.
Tak keliru bila asumsi seperti itu muncul. Tops Malaysia dicaplok. Lalu, Giant yang notabene hypermarket usungan Dairy di Malaysia dan Singapura, dibawa ke Indonesia. Namun, asumsi itu juga mudah dipatahkan. Bukankah hal yang wajar bila Hero yang gerah atas sepak terjang Carrefour lantas bersinergi dengan Dairy yang tak rela Asia dicabik-cabik?
Tentu saja hak Dairy kalau memang ia bertindak seperti itu. Seperti Odysseus, Raja Ittacha yang membuat kuda Troya untuk menghancurkan kota Troy dalam epik besar karya Homer. Maklum, Hero adalah bagian dari kerajaannya. Namun, juga hak Hero bersinergi semacam itu. Artinya, sudut pandangnya diubah; inilah cara bertahan sang perintis pasar swalayan Indonesia. Dan kembali ke atas, pertanyaan yang lebih penting justru: tepatkah langkah akuisisi Tops? Bisakah ini membuat Hero memenangkan perang di medan ritel nasional?
Menjawabnya, harus memetakan terlebih dulu lanskap bisnis ritel nasional. Kemudian, melihat dan mengaitkan dengan posisi Hero sebagai salah satu pemain.
Membincang lanskap bisnis ritel, menurut Yuswohady, Kepala Corporate & Strategy Practice MarkPlus&Co, harus diakui Carrefour yang luar biasa agresif (sejak 1998 membangun 10 gerai) telah membuat guncangan besar. Dan bagi Hero, Carrrefour adalah ancaman mematikan. Pasalnya, regulasi memungkinkan jagoan Prancis itu masuk ke central business distric (pusat perkantoran) dan secondary business distric (pertemuan jalan utama di jantung kota) yang notabene merupakan wilayah Hero Supermarket.
Persoalan makin menyakitkan karena selain mengusung konsep one stop shopping yang membuat pilihan barang teramat banyak, Carrefour juga bermain di harga yang serendah-rendahnya. Sementara itu, supermarket Hero masih terbatas di barang-barang pokok, seperti makanan dan toiletries.
Itu di pasar swalayan. Di sektor minimarket, Hero juga mesti menyaksikan ritel-ritel lokal muncul bak cendawan di musim hujan. Memang, Star Mart tidak memfokuskan diri ke perumahan atau pinggiran kota, tetapi ke perkantoran serta apartemen. Namun, tak urung, minimarket ini terkepung peritel lokal, terutama Indomart dengan 741 gerai dan Alfamart (425 gerai). Alhasil, kecuali Guardian yang lokasinya hampir selalu bersama Hero, di tengah lanskap yang bergoyang keras, Hero yang sepanjang 2002 membuka 2 Giant, 15 supermarket, 8 Star Mart, dan 16 Guardian, digempur habisan-habisan.
Giant yang hadir pada 2002 -- akan terus bertambah di tahun-tahun selanjutnya -- sulit dimungkiri merupakan penanding Carrefour. Memang, kendati ramai dikunjungi, Giant terbilang baru sehingga belum terlampau bisa dievaluasi. Namun, dengan rencana penambahan yang cukup banyak, Giant menimbulkan harapan bagi Hero menghantam Carrefour (juga peritel lain). Apalagi, Hero mencoba bermain ke pinggir seperti di Tangerang dan Cimanggis (Depok), serta segera menyusul akhir Juli ini di Bekasi. Bagaimana dengan Tops?
Di mata Yuswohady, terlepas apakah akuisisi itu arahan Dairy atau bukan, secara strategi tidaklah mengerankan Tops dicaplok. Hematnya, dalam format ritel Hero, supermarket merupakan silver bullet (ritel unggulan) sehingga semua reputasi dan investasi dipertaruhkan di sana. Maklum, dalam format ritel Hero, proporsi supermarket adalah mayoritas (44,7%) dan menjadi 50,2% begitu 22 gerai Tops berganti nama. Mengakuisisi Tops ibarat langkah preemptive strike: mengambil dulu sebelum diembat ritel lain.
Memang, dilihat dari brand awareness, Tops terbilang kurang top. Namun, selain langkah preemptive strike, Tops terhitung bagus dipandang dari sudut lokasi. Dan ini diakui Ipung. Menurutnya, Tops yang banyak bercokol di Bandung dan Surabaya akan memperkuat jaringan supermarket Hero di dua kota tersebut yang dirasa masih kurang. Di Kota Kembang, selama ini Hero hanya berkutat dengan 6 supermarket dan 6 Guardian. Di Kota Buaya, hanya empat supermarket, 6 Guardian, dan tahun lalu Giant. "Setidaknya Tops akan menyumbang sekitar 20% dari total pendapatan perusahaan," ungkap Ipung.
Toh meski mengakui penting, Ipung menyangkal bila pengembangan perusahaannya (organik maupun akuisisi) dilakukan berdasarkan nafsu bersaing dengan kompetitor asing. Ini semua (termasuk Giant dan Tops), katanya, merupakan strategi memperkuat jaringan pemasaran semata.
Di Cimanggis dan Tangerang, itu mungkin. Namun, Bandung jadi bukti betapa Hero memang bertarung dengan Carrefour. Dan bukan hanya bertarung, tapi siap menghantam. Tilik saja, selain memperkuat jaringan supermarket lewat Tops, di Paris van Java ini Hero adu jidat dengan Carrefour. Giant akan dibangun dekat pintu tol Pasteur, sementara Carrefour siap membuka diri di Jl. Moh. Toha (dekat pintu tol Kopo). Menariknya, kedua pintu tol ini adalah ruas jalan tol Padalarang-Cileunyi.
Lupakan dulu soal nafsu bersaing atau tidak -- sekalipun agresivitas Hero memunculkan penafsiran seperti itu. Pertanyaan kemudian yang tak kalah penting, bisakah itu menjadikan Hero perusahaan yang oke?
Menilik lokasi, akuisisi Tops memang signifikan dan bisa dikategorikan tepat secara strategi. Namun, untuk menyimpulkan langkah ini segera membuat Hero menjulang, mesti hati-hati. Perhatikan kinerja keuangan Hero. Kurun 1998-2002, omset Hero memang terus meningkat. Namun, selama kurun itu juga, laba bersih terus merosot. Terakhir, 2002, Hero hanya mampu mencetak laba bersih Rp 30 miliar sementara pada 2001 meraup Rp 61 miliar. Ujungnya, investor pun terimbas. Laba bersih per saham terus terjun bebas. Tahun lalu laba per saham hanya Rp 93 (lihat "Kinerja Keuangan PT Hero Supermarket Tbk.).
Kinerja Keuangan PT Hero Supermarket Tbk. (dalam Rp miliar)
--------------------------
2002 2001 2000 1999 1998
--------------------------
Penjualan bersih 2.396 1.989 1.692 1.491 1.380
Laba kotor 516 451 372 343 321
Laba usaha 41 82 82 79 72
Margin operasional (%) 1,73 4,14 4,88 5,35 5,22
Laba (rugi) bersih 30 61 67 90 (68)
Laba (rugi) per saham
(dalam rupiah) 93 235 290 386 (293)
Total aset 963 834 820 710 644
ROA (%) 3,18 7,42 8,25 12,79 (10.70)
--------------------------
Sumber: Laporan Keuangan Hero
Dalam Laporan Keuangan, Ipung memberi penjelasan muramnya kinerja Hero. Intinya, secara eksternal, persaingan harga di dunia ritel membuat margin operasional terus merosot. Tahun 2002, hanya 1,73% sementara tahun 2001 mencapai 4,14%. Sementara itu, secara internal, beban usaha terus melonjak. Pada 2002, mencapai Rp 475 miliar, atau naik 28,6% dari tahun 2001 (Rp 369 miliar). Tak heran, laba usaha ikut-ikutan anjlok. Tahun 2002 cuma Rp 41 miliar, merosot dua kali lipat dibanding 2001.
Ironisnya, problem ini tampaknya akan terus belanjut. Sepanjang kuartal I/2003 saja, laba bersih tercukur hingga 71,4% menjadi Rp 4,3 miliar dibanding periode yang sama tahun 2002 (Rp 14,4 miliar). Padahal, penjualan melejit jadi Rp 622 miliar dari Rp 541 miliar. Dan usut punya usut, kembali, ini gara-gara beban usaha yang tak henti berlari: menjadi Rp 121 miliar dari Rp 109,6 miliar.
Lantas, apa artinya ini semua?
Ekspansi Hero, baik secara organik maupun akuisisi, memang diprediksi mampu menggenjot penjualan di samping menggempur ritel-ritel lain. Akan tetapi, selama beban usaha dan beban penjualan tak bisa ditekan, lalu margin operasional juga tak kunjung meningkat, sulit buat Hero menjadi perusahaan berkilau. Celakanya, dengan persaingan ritel yang kian ketat dan saling bermain merendahkan harga, hal itu diprediksi cenderung terjadi. Dan inilah problem yang membelit Hero, yang mesti mendapat perhatian ekstra, bukan saja dari Ipung tapi juga dari rekan-rekannya di Dairy.
Menghadapi masalah ini, Yuswohady menyarankan Hero melakukan beberapa hal. Prioritas pertama, menguatkan supply chain management (SCM) agar operasional perusahaan lebih efisien. Kedua, tidak terpancing bermain di mass market. Selain sudah penuh, bermain di sektor ini akan mengandalkan permainan harga. "Padahal, konsumer mass market sangat cepat berpindah kalau ada yang menawarkan lebih rendah," katanya. "Hero harus penetrasi lebih dalam ke daerah ibu-ibu berduit," sambungnya. Ketiga, terus bertahan dengan citra kualitas yang bagus. Kemudian, memberi layanan yang tidak diberikan peritel lain.
Di luar ketiga hal di atas, Yuswohady juga menyarakan dua hal lain yang berada di tingkatan strategis. Pertama, menyegmentasi ulang pasarnya. Ditegaskan kembali siapa konsumennya dan bagaimana membangun konsumen loyalis lewat Customer Relationship Management yang mumpuni. Kedua, menilik kembali pola ekspansinya. Menurutnya, bukan hal yang merugikan jika Hero mulai merangsek ke daerah. "Ada baiknya daerah digarap lebih serius, terlebih dengan adanya otonomi daerah," sarannya.
Beberapa daerah yang disarankannya disasar adalah kota-kota kedua, seperti Purwokerto atau Madiun. "Pemain asing posisinya akan lemah di luar Jakarta, terutama di kota kedua," katanya. Menyasar ke daerah ini, sebaiknya juga dilakukan Star Mart. Persoalannya, semua saran itu bukan tanpa kerikil. Selain Star Mart akan bertarung dengan ribuan ritel lokal yang sudah menjamur, Hero juga akan semakin dituntut untuk mengefisiensikan SCM-nya.
SCM. Di luar langkah-langkah eskpansi yang penuh harap serta saran meresegmentasi konsumen, pada akhirnya inilah komponen inti yang mendesak diperbarui agar Hero mampu bersinar -- karena langkah ekspansi bisa dievaluasi. Sejauh ini, manajemen Hero telah bekerja keras mengurangi ruang-ruang di Pusat Distribusinya di Cibitung untuk menekan modal kerja. Sayang, menilik kinerja kuartal I/2003, tampaknya ini memang benar-benar menjadi pekerjaan rumah buat Hero. Dan aha, juga buat Dairy. Sebagai pemilik, sangatlah layak jika Dairy juga memberikan sentuhan midasnya di aspek ini. Tentunya, agar tak sekadar dicap sebagai penunggang.
Riset: Asep Rohimat dan Siti Sumariyati
Sumber : www.opensubscriber.com